Selasa, 30 Agustus 2011

Takbiran Keliling Kendaraan Bermotor, Bukan Tradisi Aceh Singkil


Takbiran Keliling dengan menggunakan sepeda motor dan mobil bukanlah tradisi Aceh Singkil. Kegiatan yang dilaksanakan pada malam idul fitri ini (malam 1 syawal) dilakukan secara berkelompok dari satu atau beberapa desa dengan rute kecamatan masing-masing. Untuk Simpang Kanan misalnya, rute yang adalah Lipat Kajang Atas-Kuta Tinggi dan kembali lagi ke Lipat Kajang Atas. Untuk Gunung Meriah jalur yang ditempuh adalah Rimo-Gunung Lagan. Sementara Singkil keliling kota Singkil.

Kegiatan yang dipercaya dapat memperoleh pahala ini  cenderung kepada acara pawai yang diikuti ratusan kendaraan bermotor. Peserta yang mengikuti kegiatan takbiran ini malah tidak mencerminkan nilai-nilai keislaman. Banyak diantara peserta yang tidak bertakbir alias mengumandangkan takbir pada saat berkendara. Yang terlihat malah aksi ugal-ugalan peserta takbiran mengedarai sepeda motor mereka seperti kesurupan tidak menentu. Para pengendara sepeda motor juga menyalakan petasan-petasan, kembang api dan suara klakson bersahu-sahuntan.

Bila anda mengikuti takbiran ini, mata anda akan disuguhkan pemandangan yang sangat berseberangan dengan nilai-nilai keislaman maupun nilai-nilai budaya. Hal ini sangat disayangkan, karena dapat memberikan gambaran negatif tentang kebiasaan orang Islam dalam memperingat hari besarnya ternyata tidak berbeda dengan umat kristiani memperingati hari natal dan tahun baru.

Dalam rombongan takbiran yang digelar tiap tahun itu, para peserta lai-laki tidak segan-segan menggunakan celana pendek yang sering menampakkan aurat. Dan yang lebih mengherankan lagi adalah, ada dalam rombongan peserta perempuan yang tidak mengenakan jilbab (perlu diingat bahwa, acara ini hanya diperuntukkan bagi kam laki-laki), malah menggunakan celana ketat dengan rambut terurai seperti hendak menonton dangdut. Mereka malah dengan tanpa malu tertawa-tawa dan berteriak, bersorak, tidak jelas entah apa yang diucapkannya. Saya terkejut, saya terkejut dan bertanya dalam hati “apakah ada dalam rombongan ini non muslim? Bukankah Aceh Singkil juga bagian dari Aceh yang notabene Serambi Mekkah?”, ya allah, beri keberanian pada asatidz kami untuk meluruskan hal ini.

Senin, 29 Agustus 2011

Tradisi Mebante, Menyembelih Kerbau di Malam Akhir Bulan Ramadhan

Penyembelihan Kerbau
Menyembelih kerbau adalah hal yang biasa di tempat penjagalan hewan potong. Di Aceh Singkil ada tradisi menyemebelih kerbau secara besar-besaran yang dilakukan setahun sekali secara bersama-sama di sebuah tempat yang telah disepakati secara tidak tertulis. Tradisi ini disebut Mebante. Mebante sendiri berasal dari kata Bantai. Pada malam ini, masyarakat yang mau memotong kerbau telah menggiring kerbaunya satu hari sebelumnya ke tempat yang telah disepakati. Kerbau-kerbau tersebut akan dipotong dan dijual serentak kepada masyarakat yang berkumpul di tempat tersebut.
Sudah menjadi tradisi masyarakat Aceh Singkil, bahwa pada malam terakhir di bulan ramadhan, masyarakat berbondong-bondong mendatangi lapangan untuk menyaksikan proses pemotongan kerbau. Di lokasi pemotongan, para pemilik kerbau mendirikan lapak tampat memasarkan daging yang telah dipotong.
Lapak sederhana yang dijadikan tempat menjual daging
Harga yang ditawarkan relatif sama, antara penjual satu dengan yang lain. Pada umumnya, kerbau-kerbau ini diperoleh dengan cara dibeli oleh perorangan atau berkelompok yang kemudian kembali di jual dagingnya pada malam mebante tersebut. Daging yang telah dibeli biasanya dimasak keesokan harinya, yaitu tepat akhir bulan ramadhan.
Entah kapan dan siapa yang memulai, yang jelas tradisi ini masih ada sejak zaman kemerdekaan sampai dengan saat ini. 

Sabtu, 27 Agustus 2011

Tradisi Malam Lai Aceh Singkil


Pernahkan anda lihat kembang Api?, tentu saja pernah. Biasanya peste kembang api dilakukan pada saat tahun baru, atau juga pada saat pesta pernikahan seperti yang terjadi di beberapa tempat. Kembang api sendiri diyakini berasal dari dataran cina pada abad ke 12 sebagai hasil dari sampling penemuan bubuk hitam (gundpowder) yang digunakan untuk mengusir roh jahat atau juga dipakai pada saat perayaan tahun baru dan festival-festival.

Di Aceh Singkil, tradisi penggunaan kembang api ini hanya terjadi 1 tahun sekali. Walaupun sekarang telah masuk budaya luar yaitu perayaan tahun baru yang kerap diisi dengan perayaan kembang api. Namun sebenarnya, kembang api sendiri hanya dikenal secara turun temurun pada saat malam bulan ramadhan, tepatnya malam ke 27.

Di malam ramadhan, anak-anak dan remaja sering memainkan bedil (meriam yang terbuat dari bambo) , menyalakan lilin dan kemudian menyalakan kembang api di malam ke 27.

Malam ke 27 pada bulan ramadhan diyakini oleh masyarakat setempat sebagai malam Lailatul Qadr (malam yang disebut dalam al-Qur’an sebagai malam yang lebih baik dari seribu bulan), yang kemudian disingkat menjadi MALAMLAI. Pada malam ini, masyarakat memiliki tradisi sebagai berikut:

1.      Memotong Ayam untuk dimasak dan dimakan bersama keluarga
2.      Membuat Kue-kue tradisional seperti lemang dan ketupat dan kue talam
3.      Menerangi rumah-rumah dengan lilin atau obor dengan berbagai ukuran.
4.      Menyalakan Kembang Api

Sumber Foto: antarafoto.com
Khusus untuk kembang api, ini adalah hal yang baru. Karena memang sebenarnya, kembang api tersebut dipasok dari luar (dibeli), bukan dibuat sendiri. Ini artinya, masyarakat tidak memiliki keahlian khusus membuat kembang api. Kembang api pada awalnya hanya digunakan oleh anak-anak, yang kemudian dengan pengaruh kegilaan zaman membuat kelangan dewasa ikut-ikutan menyalakan kembang api.

Bahkan, malam ramadhan yang seharusnya diisi dengan kegiatan mendekatkan diri kepada Allah malah diisi dengan kegiatan menghambur-hamburkan uang dengan menyalakan kembang api, diiringi dengan petasan yang notabene mengganggu orang yang sedang beribadah. Malamlai yang tadinya tenang dijadikan sebagai justifikasi menyalakan kembang api dan petasan. Itulah sekilas tradisi Aceh Singkil yang sudah bergeser dari nilai yang sebenarnya.

Jumat, 26 Agustus 2011

Syair Perahu

Hamzah Fansuri

Inilah gerangan suatu madah
mengarangkan syair terlalu indah,
membetuli jalan tempat berpindah,
di sanalah i’tikat diperbetuli sudah
Wahai muda kenali dirimu,
ialah perahu tamsil tubuhmu,
tiadalah berapa lama hidupmu,
ke akhirat jua kekal diammu.
Hai muda arif-budiman,
hasilkan kemudi dengan pedoman,
alat perahumu jua kerjakan,
itulah jalan membetuli insan.
Perteguh jua alat perahumu,
hasilkan bekal air dan kayu,
dayung pengayuh taruh di situ,
supaya laju perahumu itu
Sudahlah hasil kayu dan ayar,
angkatlah pula sauh dan layar,
pada beras bekal jantanlah taksir,
niscaya sempurna jalan yang kabir.
Perteguh jua alat perahumu,
muaranya sempit tempatmu lalu,
banyaklah di sana ikan dan hiu,
menanti perahumu lalu dari situ.
Muaranya dalam, ikanpun banyak,
di sanalah perahu karam dan rusak,
karangnya tajam seperti tombak
ke atas pasir kamu tersesak.
Ketahui olehmu hai anak dagang
riaknya rencam ombaknya karang
ikanpun banyak datang menyarang
hendak membawa ke tengah sawang.
Muaranya itu terlalu sempit,
di manakan lalu sampan dan rakit
jikalau ada pedoman dikapit,
sempurnalah jalan terlalu ba’id.
Baiklah perahu engkau perteguh,
hasilkan pendapat dengan tali sauh,
anginnya keras ombaknya cabuh,
pulaunya jauh tempat berlabuh.
Lengkapkan pendarat dan tali sauh,
derasmu banyak bertemu musuh,
selebu rencam ombaknya cabuh,
La ilaha illallahu akan tali yang teguh.
Barang siapa bergantung di situ,
teduhlah selebu yang rencam itu
pedoman betuli perahumu laju,
selamat engkau ke pulau itu.
La ilaha illallahu jua yang engkau ikut,
di laut keras dan topan ribut,
hiu dan paus di belakang menurut,
pertetaplah kemudi jangan terkejut.
Laut Silan terlalu dalam,
di sanalah perahu rusak dan karam,
sungguhpun banyak di sana menyelam,
larang mendapat permata nilam.
Laut Silan wahid al kahhar,
riaknya rencam ombaknya besar,
anginnya songsongan membelok sengkar
perbaik kemudi jangan berkisar.
Itulah laut yang maha indah,
ke sanalah kita semuanya berpindah,
hasilkan bekal kayu dan juadah
selamatlah engkau sempurna musyahadah.
Silan itu ombaknya kisah,
banyaklah akan ke sana berpindah,
topan dan ribut terlalu ‘azamah,
perbetuli pedoman jangan berubah.
Laut Kulzum terlalu dalam,
ombaknya muhit pada sekalian alam
banyaklah di sana rusak dan karam,
perbaiki na’am, siang dan malam.
Ingati sungguh siang dan malam,
lautnya deras bertambah dalam,
anginpun keras, ombaknya rencam,
ingati perahu jangan tenggelam.
Jikalau engkau ingati sungguh,
angin yang keras menjadi teduh
tambahan selalu tetap yang cabuh
selamat engkau ke pulau itu berlabuh.
Sampailah ahad dengan masanya,
datanglah angin dengan paksanya,
belajar perahu sidang budimannya,
berlayar itu dengan kelengkapannya.
Wujud Allah nama perahunya,
ilmu Allah akan [dayungnya]
iman Allah nama kemudinya,
“yakin akan Allah” nama pawangnya.
“Taharat dan istinja’” nama lantainya,
“kufur dan masiat” air ruangnya,
tawakkul akan Allah jurubatunya
tauhid itu akan sauhnya.
Salat akan nabi tali bubutannya,
istigfar Allah akan layarnya,
“Allahu Akbar” nama anginnya,
subhan Allah akan lajunya.
“Wallahu a’lam” nama rantaunya,
“iradat Allah” nama bandarnya,
“kudrat Allah” nama labuhannya,
“surga jannat an naim nama negerinya.
Karangan ini suatu madah,
mengarangkan syair tempat berpindah,
di dalam dunia janganlah tam’ah,
di dalam kubur berkhalwat sudah.
Kenali dirimu di dalam kubur,
badan seorang hanya tersungkur
dengan siapa lawan bertutur?
di balik papan badan terhancur.
Di dalam dunia banyaklah mamang,
ke akhirat jua tempatmu pulang,
janganlah disusahi emas dan uang,
itulah membawa badan terbuang.
Tuntuti ilmu jangan kepalang,
di dalam kubur terbaring seorang,
Munkar wa Nakir ke sana datang,
menanyakan jikalau ada engkau sembahyang.
Tongkatnya lekat tiada terhisab,
badanmu remuk siksa dan azab,
akalmu itu hilang dan lenyap,
……¹